Tuesday, March 12, 2013

Mengenal H Muhidin Pemeran Sinetron Tukang Bubur Naik Haji



Siapakah pemeran Haji Muhidin ini? Bagaimana dia bisa membuat tokoh naskah ini bisa sangat hidup? Dan bagaimana pula dia menghadapi cacian dan ketaksukaan pencinta sinetron ini?

Sabtu (9/2) sore lalu, kami sempat ngobrol dengan si pemeran tokoh Haji Muhidin ini di sebuah rumah warga, yang dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini dijadikan rumah Haji Muhidin, di JI. Mandiri, Cibubur. Kami ngobrol santai di ruangan tamu pada sela-sela waktu jeda.

Sore itu, Latief terlihat bersemangat. Padahal hari sudah sore dan ia sudah menjalani syuting beberapa scene sejak siang tadi. Bahkan bolak-balik ke lokasi tim 1 dengan sepeda motor. Sekadar informasi, ada 4 tim yang menggarap sinetron ini. Scene dalam rumah ini dan sekitarnya, termasuk di lapangan voli yang terletak di pinggir Jl. Mandiri, digarap oleh tim 2.

Latief tersenyum ketika diminta fotografer kami bergaya di depan kamera. "Gaya bagaimana ini?" tanyanya sambil tersenyum. la tidak tahu harus bergaya bagaimana didepan kamera fotografer. "Berdiri saja, ya," pintanya sambil tersenyum dan menarik ujung baju koko cokelat bermotif batiknya. Lalu ia dijepret beberapa kali. Kemudian duduk di atas sofa berwarna hijau lumut. Di situ juga ia dijepret beberapa kali.

Setelah dijepret beberapa kali, ia menoleh dan tersenyum kepada kami. "Maaf, ya. Tadi memang tidak bisa karena lagi padat," katanya sambil tersenyum. Sebelumnya, di depan teras, kami memang sempat mendekatinya. Saat itu, ia sedang asyik membolak-balik lembaran naskah.

Di ruangan tamu itu, Latief membuka sedikit tentang perjalanan kariernya. la bercerita penuh semangat. Tertawanya pun lepas. Tidak jutek dan sinis seperti karakter yang diperankannya di dalam sinetron. Wajahnya justru terlihat segar dan sumringah. Apa adanya. "Kelihatan masih segar, ya? Karena saya minum air putih yang banyak, tidak merokok, dan tidak minum alkohol," katanya.

Latief lahir di Binjai, Sumatera Utara, 10 Mei 1942. Jauh sebelum bermain dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini, ia sudah bermain dalam beberapa film. Waktu itu sebagai pemain figuran. "Tapi orang tua tidak setuju," katanya. Alasan ayahnya waktu itu, masa depan orang yang bermain film tidak terjamin.

Orang tuanya memang tidak setuju. Tapi keinginannya untuk terjun ke dunia film tidak bisa ditahannya. Akhirnya ia memutuskan untuk lari dari rumah. la minggat ke rumah omnya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Omnya adalah anggota Brimob.

Pada suatu hari, ketika sedang berjalan-jalan di pelabuhan, ia melihat ada pengumuman penerimaan anggota baru kesatuan patroli pantai dan laut. Dengan ijazah SMP, ia memutuskan untuk mendaftarkan diri menjadi pengawas laut dan pantai. Waktu itu, ia belum tamat SMA. "Waktu itu, saya kesal karena cita-cita saya terhambat. Akhirnya ikut pasukan. Waktu itu lagi konfrontasi dengan Malaysia," ceritanya.

Pada waktu itu, ia sangat pesimis. Pesimis karena menjadi seorang pengawas laut dan pantai bukanlah cita-citanya. la hanya mau menjadi seorang aktor. Dengan demikian, tak jadi masalah kalau ia ikut berperang dan gugur di medan perang. "Kalau pergi perang dan mati, mati sajalah," katanya.

Ketika menjadi anggota pengawas laut dan pantai inilah, Latief berkenalan dengan Lailawaty Hasibuan, seorang perempuan cantik kelahiran Riau, 23 September 1950. Mereka bertemu pada tahun 1968. Mereka menikah pada 14 April 1968 di Dumai, Riau.

Setelah menikah, mereka tinggal di rumah orang tua Lely, demikian panggilan istrinya. Cukup lama mereka tinggal di situ. Setelah itu, ia dan Lely hidup berpindah-pindah di beberapa daerah di Sumatera. Ke mana ia ditugaskan, ke situ Lely pergi bersamanya. "Kami lama hidup berpindah-pindah," ujarnya.

Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak perempuan. la dan Lely mendidik anak-anak mereka dengan disiplin yang tinggi. "Saya selalu tekankan pentingnya disiplin waktu. Itu harus betul-betul dijaga. Kalau tidak, celaka," ungkapnya.

Kalau salah satu anaknya melanggar disiplin waktu itu, ceritanya, ia akan mengumpulkan semua anaknya. "Pulang dari kantor, saya langsung cek anak-anak sudah tidur atau belum. Kalau ada yang belum ada, saya langsung kumpulin semua dan kasih tahu mereka bahwa waktu itu penting," terangnya sambil tersenyum dan membuka kopiah putihnya.

Dari 6 anak itu, 2 di antaranya sudah meninggal dunia. Yang pertama dan yang ketiga. Kini, keempat anaknya itu, Julianti, Sri Maharani, Indah Sari, dan Amelia Ekawati (Pemeran Ulah), sudah menikah. "Saya sudah punya 7 orang cucu," katanya sambil tertawa.

Bersambung...
GENIE, Edisi 27, 15-21 Februari 2013



Sumber: facebook.com/TBNH.Theseries


No comments:

Post a Comment