Saturday, May 11, 2013

Citra Kirana (Pemeran Rumana Sinetron Tukang Bubur Naik Haji): "Tunggu Waktu yang Tepat"


TOKOH Rumanah yang diperankannya di sinetron Tukang Bubur Naik Haji (TBNH) tidak pernah lepas dari jilbab. Di kehidupan nyata, gadis kelahiran Bogor, Jawa Barat, 23 April 1994 itu tidak sepenuhnya berjilbab. Ada waktu-waktu tertentu dia mengenakannya. "Kalau datang ke acara (Islami), biasanya saya pakai," katanya di sela syuting sinetron itu di Cibubur, Jakarta Timur, Rabu (3/4).

Sebenarnya, di relung hatinya yang terdalam, ada keinginan untuk menutup auratnya. Hanya saja, dia merasa masih perlu memikirkan wak­tu yang tepat untuk merealisasikannya. "Aku pasti mempersiapkan itu. Tapi aku nggak pengen (pakai jilbab) atas dorongan orang. Aku pengen karena diri sendiri," ungkapnya.

Saat ini, dia mengaku masih terus mendalami ilmu agama. Perannya sebagai Rumanah, cu-kup membantunya untuk itu. "Di sini (TBNH) aku jadi ustazah. Tapi di kehidupan nyata, aku masih belajar (agama)," tuturnya.

Bukan tidak mungkin, kemantapan hati mengenakan jilbab dirasakannya sepulangnya dari Tanah Suci. Setelah syuting TBNH ram-pung, dia ingin umrah bareng keluarga.

"Aku pengen banget mengajak keluargaku um­rah dari hasil kerjaku sendiri. Rencananya sih selesai TBNH," ujar model video klip Sang Man-tan milik Nidji itu. Baginya, kebahagiaan kelu­arga adalah yang utama. Apapun yang dilaku-kannya, demi mereka. "Aku dekat banget sama keluarga. Selalu ingat mereka," akunya.

(INDOPOS, 7 April 2013)


Profil Singkat LATIEF SITEPU, pemeran H. Muhidin dalam Sientron Tukang Bubur Naik Haji



Latief Sitepu, lahir di Binjai, Sumatera Utara, 10 Mei 1942. Jauh sebelum bermain dalam sinetron Tukang Bubur Naik Haji ini, ia sudah bermain dalam beberapa film. Tetapi waktu itu sebagai pemain figuran.

- KELUARGA

Pada 14 April 1968, Latief Sitepu menikah dengan seorang gadis bernama Lailawaty Hasibuan di Dumai.
Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai enam orang anak perempuan, namun 2 di antaranya sudah meninggal dunia. Yang pertama dan yang ketiga. Kini, keempat anaknya itu, Julianti, Sri Maharani, Indah Sari, dan Amelia Ekawati (Pemeran Ulah), sudah menikah. Latief kini sudah dikaruniai 7 orang cucu.

- KARIER

Keinginan terjun ke dunia film adalah impiannya sejak kecil, tetapi orangtuanya saat itu tidak setuju. Akhirnya ia memutuskan untuk lari dari rumah. la minggat ke rumah omnya di Tanjung Priok, Jakarta Utara. Kemudian sempat bekerja jadi pengawas laut dan pantai.

Setelah menikah, ia sempat hidup berpindah-pindah dan ditugaskan di Sumatra Utara.
Latief, Lely, dan anak-anaknya pindah ke Jakarta pada tahun 1981. Setelah 7 bulan tinggal di Jakarta, datang seorang sutradara. Namanya Zunaidi. Dia meminta Latief berakting. Itulah awal mulai ia mulai terjun ke dunia seni peran.

Selama berkarier di dunia seni peran, Latief sudah bermain dalam sejumlah film dan sinetron. antara lain:
- Mawar untuk Dini yang tayang di TVRI,
- Pondok Pak Jhon yang tayang di Indosiar,
- Jalan Makin Membara bersama Dede Yusuf,
- Si Buta dari Gua Hantu,
- Bukan Perempuan Biasa,
- Apa Artinya Cinta,
- Senandung Masa Puber,
- Red Cobek dan,
- Tukang Bubur Naik Haji.

Namun dari semua film dan sinetron itu, Tukang Bubur Naik Haji adalah yang paling fenomenal untuknya, karena baru dalam sinetron inilah ia menjadi populer dan begitu dikenal oleh masyarakat luas berkat sukses memerankan tokoh H. Muhidin yang begitu menyebalkan


Sumber: facebook.com/TBNH.TheSeries 


Wednesday, May 1, 2013

Tukang Bubur Naik Haji: Bukan Sekedar Mimpi



Liputan Tabloid Nyata
"TBNH : BUKAN SINETRON MENJUAL MIMPI"

Mengangkat tema sederhana, sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series sukses merebut hati masyarakat. Bagaimana cara Imam Tantowi sebagai penulis naskah melahirkan ide-ide yang menarik?

Diajang Panasonic Gobel Award 2013 lalu, Sinetron Tukang Bubur Naik Haji The Series (TBNH) meraih dua penghargaan sebagai Drama Seri Terfavorit 2013. Selain itu, Citra Kirana, pe-meran Rumana meraih penghargaan sebagai Artis Terfavorit Di luar sukses tersebut, TBNH su-dah memasuki episode 500.

Sukses sinetron tersebut tidak lepas dari Imam Tantowi sebagai penulis cerita. la berhasil mengemas cerita tentang kehidupan sehari-hari menjadi tontonan yang menarik.

Nyaris tidak ada kemewahan yang yang ditampilkan di TBNH. "Ini bukan sinetron yang menjual mim-pi. Ini cerita kesederhanaan," kata Imam ketika ditemui di lokasi syuting TBNH di Cibubur, Rabu (3/4) siang hari.

Sinetron yang diangkat dari FTV dengan judul yang sama itu, berawal dari ide yang sangat sederhana. Saat itu, Imam mendengar ceramah ustad Yusuf Mansyur tentang keteladanan seorang tukang bubur yang punya Mercedes Benz C 200 Kompressor. Tukang Bubur itu juga berhasil mewujudkan mimpi ibunya yang ingin menunaikan ibadah haji.

"Ide awalnya dari situ. Saya cuma ambil dua tokoh dari cerita itu, anak yang jadi tukang bubur dan ibunya karena itu inti ceritanya. Tapi kemudian ada tokoh Mang Odjo, Rumana, Robby dan Haji Mukhidin itu fiksi saja," beber Imam.

Ketika masih dibuat dalam bentuk FTV, tokohnya memang tidak banyak. Tapi sekarang to­koh di TBNH sudah mencapai 60 orang.

Bagaimana Imam bisa menciptakan tokoh sebanyak itu dengan beragam karakter? "Sa­ya ambil dari kitab Imam Ghazali yang banyak menceritakan ten­tang watak-watak manusia. Misalnya ada yang sifatnya dengki, ikhlas, dan lainnya," urainya.

Setelah mendapatkan bera­gam karakter manusia itu. Imam menyematkan karakter itu ke dalam tokoh yang dibentuknya itu. Misalnya karakter dengki yang ia sematkan ke dalam to­koh Haji Mukhidin.

"Nah, kalau sudah ditetapkan karakternya, baru saya membuat nama yang sesuai dengan wataknya. Misalnya, Haji Sulam. Begitu mendengar nama itu kan orang sudah bisa membayangkan kalau orang-nya baik. Beda dengan nama Kardun, yang konotasinya pasti sudah nggak baik," ujarnya.

Selain itu, Imam juga berusaha membuat nama yang mudah diucapkan agar lebih mudah diingat penonton. Caranya sebelum menetapkan nama, ia mengucapkan nama itu berulang kali.

"Maksudnya juga apakah saat diucapkan, nama tersebut kedengarannya enak atau tidak," ujar pria kelahiran Tegal 13 Agustus 1946 itu.

Adanya penambahan beberapa tokoh dalam sinetron, diakui oleh Imam, merupakan salah satu cara supaya sinetron ini tidak membosankan. la juga menggunakan multi plot untuk mengem-bangkan cerita tersebut.

"Karena di sini pakai multi plot dengan tokoh yang sangat banyak, makanya penonton harus akrab dulu dengan tokoh itu baru kemudian tokoh itu diberi problem," jelas Imam.

Imam enggan menyebutkan bagaimana ia memutuskan kapan waktu yang tepat untuk memunculkan tokoh tersebut. "Setiap penulis punya trik sen diri kapan saat tepat untuk memunculkan tokoh itu. Itu sebenarnya rahasia penulis, yah," katanya lantas tersenyum.

Multi Plot

Keuntungan lain menggunakan multi plot adalah tidak ada pemain yang menonjol dan sebagai penentu rating. Pasalnya, setiap tokoh yang ada dalam sinetron itu memang memiliki kekuatan masing-masing. Kare­na itu, meski tanpa Haji Sulam sebagai tokoh sentral, TBNH tetap digemari.

"Tokoh Suroso Kimpling atau Mbah Rosso itu meski perannya kecil, justru saat dia keluar rating-nya tinggi. Seperti tokoh Atika pun banyak penggemarnya," kata Imam. "Jadi semua tokoh yang ada sudah matang, sehingga walaupun tokoh sentral-nya sudah nggak ada, sinetron ini masih tetap disenangi masya­rakat," tambahnya.

Karena masing-masing tokoh sangat kuat. Imam tidak menghilangkan tokoh selama-lamanya. Misalnya, tokoh Haji Sulam yang justru diceritakan pergi ke Arab untuk mengurus bisnisnya.

"Tokohnya tidak bisa diganti karena sudah melekat dengan pemerannya. Kalau nanti Mat Solar mau main kembali, ya tetap dimasukkan. Tapi, selama nggak ada dia, saya tetap menceritakan bahwa dia tetap ada dengan istrinya sesekali meneleponnya," jelasnya.

Selain menggunakan multi plot, Imam juga sering memasukkan isu-isu yang tengah berkembang di masyarakat. Misal­nya, saat ini isu tentang Eyang Subur juga dimasukkan untuk memperkaya ceritanya.

"Dengan memasukkan isu yang tengah berkembang, pe­nonton tidak bosan karena merasa dekat dengan kehidupan mereka sehari-hari," tukas Imam yang pernah meraih penghargaan dalam Festival Sinetron In­donesia 1996 sebagai penulis cerita asli komedi terbaik lewat 'Suami-suami Takut Istri' itu.

Menariknya lagi, sinetron ini tidak menjual bintang-bintang kelas A. Bahkan sebagian besar artis yang sudah berumur. Namun, sinetron itu tetap menarik di hati penonton. Hal itu me­mang sengaja dilakukan Imam. Sejak awal dia sudah memberikan arahan seperti apa yang akan memerankan tokoh itu. Meski ada beberapa bintang yang cantik dan tampan.

"Tujuannya di sini adalah memberi penonton agar bisa bersaing dengan yang ada di sinetron. Mi­salnya Haji Muhidin yang senang dengan Riyamah. Penonton akan bisa berkata, ah mendingan ayah saya lebih ganteng dan baik dibanding Haji Mukhidin," terang Imam.

(NYATA, Edisi 2179, II April 2013)